Etika dalam bisnis adalah sesuatu yang menjadi bagian penting di masa kini. Kesadaran akan etika bisnis ini disebbakan oleh begitu banyaknya bisnis yang dijalankan pada waktu lampau yang tidak mementingkan hal ini. Sehingga bisnis-bisnis tersebut membawa dampak yang buruk bagi lingkungan di sekitarnya dalam waktu cepat atau lambat. Sadar atau tidak, kita seringkali mendengar banyak kasus-kasus buruk yang terjadi dalam dunia bisnis, yang berkaitan dengan etika bisnis yang terabaikan. Contohnya seperti penipuan, perusakan lingkungan, mempekerjakan anak di bawah umur, dan lain sebagainya.
Jika kita mendefinisikan tiap katanya, etika dan bisnis, maka etika berarti akhlak, kesopanan, dan perilaku yang baik. Sementara bisnis berarti usaha yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan (kamus lengkap bahasa Indonesia : Amran Chaniago). Dari kedua artian tersebut apabila disatukan, maka etika bisnis dapat diartikan sebagai perilaku yang baik dalam menjalankan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Lalu bagaimanakah etika bisnis dalam pandangan agama Islam?
Kegiatan usaha dalam kaca mata Islam memiliki etika yang senantiasa memelihara kejernihan aturan agama (syariat) yang jauh dari keserakahan dan egoisme. Ketika etika-etika ini diimplikasikan secara baik dalam tiap kegiatan usaha (bisnis) maka usaha-usaha yang dijalankan tersebut menjadi jalan yang membentuk sebuah masyarakat yang makmur dan sejahtera. Dan memang itulah maksud Allah menurunkan agama Islam ini kepada manusia, yaitu sebagai rahmat semesta alam.
Dasar dari semua ini adalah sesuatu yang harus senantiasa dipegang oleh setiap pengusaha muslim yaitu keyakinan bahwa harta adalah milik Allah dan manusia hanyalah bertugas untuk mengelolanya. Orang yang bertugas dalam mengelola sudah pasti harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pemiliknya dan tidak boleh melanggarnya, dalam hal ini pemiliknya adalah Allah. Dia memberikan pedoman-pedoman kepada kita melalui al Quran dan sunnah Rasulullah SAW.
Etika yang paling pertama dalam Islam adalah niat yang tulus. Dengan niat yang tulus, semua bentuk aktivitas keduniaan seperti bisnis berubah menjadi ibadah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan balasan dari perbuatannya sesuai dengan niatnya”. Yang dimaksud dengan niat dalam sabda Rasul tersebut adalah adanya keinginan baik terhadap diri sendiri dan orang lain.
Keinginan baik untuk diri sendiri adalah menjaga diri sendiri dari harta yang haram dan bathil, memelihara diri dari kehinaan meminta-minta, menjaga kehormatan, dll. Sementara keinginan yang baik terhadap orang lain contohnya adalah ikut andil dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, memberi kesempatan kerja kepada orang lain, membebaskan umat dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, dan hal-hal lain yang banyak sekali caranya.
Etika yang kedua adalah budi pekerti yang luhur. Budi pekerti ini diartikan juga sebagai akhlak yang baik. Di antara budi pekerti yang dimaksudkan dalam dunia bisnis adalah kejujuran, sikap amanah dan legowo, menunaikan janji, bersikap konsekuen dalam membayar hutang, bertoleransi dalam menagih hutang pada orang yang kesulitan, memahami kekurangan orang lain, memenuhi hak-hak orang lain, tidak menahan hak orang lain, dan sebagainya.
Seorang pebisnis muslim sudah selayaknya menghiasi dirinya dengan akhlak yang baik. Sikap itu tidak hanya muncul dari sisi kepentingan komersial saja, namun sikap itu harus dimunculkan dari keyakinan yang kokoh. Porosnya adalah ketaatan kepada Allah dan mengikuti jejak Rasulullah serta mendapatkan pahala. Kalaupun dengan akhlak yang baik tersebut mereka mendapatkan keuntungan dalam bisnisnya, hal itu terjadi sebagai hasil tujuan samping, bukan tujuan utama.
Namun sungguh disayangkan, pada kenyataannya pebisnis muslim masih kalah oleh pebisnis Barat dalam hal melayani konsumennya. Pebisnis Barat sangat ahli dalam bidang pelayanan, supel dan rendah hati kepada pelanggan, sedangkan banyak pebisnis Islam yang justru malah sebaliknya. Padahal kalangan Barat melakukan hal tiu hanya mengejar keuntungan dunia semata, sedangkan muslim sebagai pewaris agama Allah menyatakan “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah” dan “Janganlah kalian remehkan kebaikan sedikitpun, meskipun hanya sekedar bertemu dengan saudaramu dengan wajah ceria”.
Etika yang ketiga adalah usaha yang halal. Seorang pebisnis muslim diwajibkan untuk selalu berada dalam bingkai aturan ini. Tidak layak bagi seorang muslim tergelincir dalam usaha yang haram dan maksiat hanya untuk mengejar keuntungan yang berlimpah. Padahal Allah menghalalkan yang baik-baik kepada manusia dan mengharamkan yang buruk-buruk kepada manusia. Jadi apa yang didapatkan dari usaha yang halal adalah berkah dan kebaikan, sedangkan yang didapatkan dari usaha haram adalah keburukan.
Etika yang keempat adalah menunaikan hak. Seorang pebisnis muslim akan menyegerakan untuk menunaikan hak orang lain, baik itu berupa upah pekerjaan (gaji) ataupun hutang terhadap pihak tertentu. Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” dan Nabi juga bersabda, “Sikap orang kaya yang memperlambat pembayaran hutang adalah kezhaliman”.
Dari kedua hadits tersebut maka sebagai pebisnis muslim dalam membuat suatu usaha diharuskan untuk menciptakan sebuah sistem yang berorientasi dalam menyegerakan penunaian hak-hak pegawainya dan sistem pembayaran hutang yang tepat waktu tanpa adanya penundaan-penundaan.
Dan tidak lupa, hak yang paling utama yang harus ditunaikan adalah hak Allah terhadap hambaNya yang mampu yaitu zakat, kemudian sedekah serta infak. Semua pengeluaran itu akan menyucikan harta-harta kita dari segala kotoran syubhat dan menyucikan hati kita dari penyakit hati seperti kikir dan egois.
Etika kelima yang tak kalah penting adalah menghindari riba dan segala sarana riba seperti transaksi-transaksi yang kotor. Pebisnis muslim harus bersungguh-sungguh dalam memegang aturan ini karena telah kita ketahui bersama bahwasanya riba termasuk satu dari tujuh perbuatan yang membinasakan. Banyak sekali dalil-dalil dari al Quran dan as Sunnah yang menunjukkan beratnya dosa akibat memakan harta riba, bahkan sampai-sampai laknat ditujukan kepada mereka yang melakukan dosa riba.
Etika yang keenam adalah menghindari mengambil harta orang lain dengan cara yang batil. Tidak halal harta seorang muslim untuk diambil kecuali dengan kerelaan hatinya. Contoh-contoh memakan harta orang lain dengan cara yang batil adalah uang suap, penipuan, manipulasi, perjudian, kamuflase harga, menimbun barang, dan memanfaatkan ketidaktahuan orang lain terhadap barang-barang yang kita jual selaku pedagang. Hadits yang berkaitan dengan larangan menipu dalam berdagang termaktub dalam shahih Muslim dalam kitaabul Imaan.
Allah berfirman dalam An Nisaa : 29, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. Ayat ini menjadi pedoman yang penting bagi para pebisnis muslim dalam menjalankan usahanya. Sehingga pebisnis muslim senantiasa menjauhi cara-cara yang batil dalam usahanya.
Etika bisnis nomor tujuh dalam Islam adalah tidak memudaratkan (membahayakan) orang lain. Seorang pebisnis muslim harus menjadi kompetitor yang baik dan terhormat yang menganut kaidah “tidak melakukan mudarat dan tidak membalas orang lain dengan kemudaratan”. Kaidah ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Tidak boleh memudaratkan dan tidak pula membalas dengan memudaratkan orang lain”. Jadi pebisnis muslim tidak melakukan hal-hal seperti memainkan harga barang, melakukan jual beli dengan memaksa pembelinya, dan lain sebagainya.
Etika bisnis yang ke delapan, yang menjadi penutup dari etika-etika bisnis dalam Islam adalah mempelajari hukum-hukum muamalah Islam. Hal ini sudah pasti menjadi penting karena merupakan pedoman yang akan menuntun pebisnis-pebisnis muslim ke jalan yang telah Allah syariatkan. Tidak mungkin seorang pebisnis muslim dapat melaksanakan etika-etika bisnis yang telah disebutkan terlebih dahulu tanpa mempelajari hukum-hukum muamalah.
Kiranya itulah etika-etika bisnis yang terdapat dalam Islam, yang merupakan ketentuan mutlak yang harus senantiasa dipatuhi demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan pada masyarakat lewat bisnis-bisnis yang dijalankan. etika-etika bisnis islam telah banyak pula diadopsi oleh masyarakat Barat, yang telah kita lihat mereka telah memetik hasil yang gemilang. Oleh itu kita sebagai pemilik asli dari etika-etika bisnis tersebut haruslah menjalankannya dengan sungguh-sungguh.
0 komentar:
Post a Comment